Rabu, 27 Juni 2012

Pulau Komodo Jadi Tujuh Keajaiban Dunia

JAKARTA - Penetapan Pulau Komodo dalam New7 Wonders of Nature bukanlah akhir dari dukungan masyarakat Indonesia. Berbagai langkah harus dikerjakan untuk menjadikannya objek wisata yang mendulang rezeki bagi masyarakat sekitar.
Ketua Yayasan Komodo Kita Emmy Hafild mengatakan bahwa kemenangan Pulau Komodo merupakan langkah awal dalam membangun kesejahteraan masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). "Akan ada kerja sama beberapa pengusaha untuk membangun dan mengembangkan Pulau Komodo," ujarnya kepada wartawan pada acara "Pengumuman Konfirmasi Taman Nasional Komodo" sebagai salah satu pemenang New7Wonders of Nature, di Gedung Palang Merah Indonesia (PMI), baru-baru ini.
Menurutnya, perlu ada masterplan untuk mengembangkan Pulau Komodo. "Masterplan ini akan lebih dititikberatkan kepada peningkatan sumber daya manusia sekitar dan sarana infrastruktur agar saat wisatawan datang, semua sudah siap," terangnya.
Pasalnya di satu sisi, dikatakan Emmy, saat ini kesejahteraan masyarakat NTT masih rendah. "Perlu memertimbangkan untuk mengembangkan aspek wisata guna meningkatkan devisa dan perekonomian Nusa Tenggara Timur," ujarnya.
Sementara dilansir dari Sindo, Duta Pulau Komodo Jusuf Kalla pada kesempatan yang sama menjelaskan, setelah melalui proses tahapan audit dukungan dan konfirmasi, tahapan berikutnya adalah inaugurasi formal di Pulau Komodo seperti yang telah berlangsung di Filipina dan Vietnam. Proses inaugurasi Pulau Komodo sebagai tujuh keajaiban alam dunia, kata JK, rencananya diresmikan langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
”Presiden sedang mencari tanggal yang tepat di bulan ini untuk datang dan meresmikan Pulau Komodo,” tandasnya.
Tahapan berikutnya, lanjut JK, menggelar kampanye internasional agar New7 Wonders ini lebih dikenal lagi. Terakhir, perbaikan seluruh fasilitas di Pulau Komodo sehingga dapat menarik minat wisatawan untuk berkunjung. Jika saat ini dalam sehari hanya terdapat lima penerbangan melalui Labuhan Bajo, ke depan ditargetkan ada 10 penerbangan.
”Jadi masih ada tiga tahapan yang harus kita lalui,” jelasnya.
Pulau Komodo masuk menjadi bagian dari tujuh keajaiban dunia dengan meraup dukungan melalui pesan singkat (SMS) sebanyak 200 juta lebih. JK berharap terpilihnya Pulau Komodo masuk tujuh keajaiban alam dunia meningkatkan kunjungan wisata ke NTT, minimal 1.000 orang per hari.
”Bandara diperpanjang, rumah sakit dan jalan akan diperbaiki,” ucapnya.
Peningkatan SDM masyarakat juga akan dilakukan seperti membuka kursus bahasa Inggris dan pemberian pelatihan untuk menjadi guide. Sejumlah investor, yayasan, dan universitas siap membantu perbaikan dan peningkatan SDM masyarakat di sekitar Pulau Komodo.
Sumber : http://travel.okezone.com

Menyusuri Jalan Karangan Bunga dan Surga Cinderamata di Jantung Kota Jogja

Matahari bersinar terik saat ribuan orang berdesak-desakan di sepanjang Jalan Malioboro. Mereka tidak hanya berdiri di trotoar namun meluber hingga badan jalan. Suasana begitu gaduh dan riuh. Tawa yang membuncah, jerit klakson mobil, alunan gamelan kaset, hingga teriakan pedagang yang menjajakan makanan dan mainan anak-anak berbaur menjadi satu. Setelah menunggu berjam-jam, akhirnya rombongan kirab yang ditunggu pun muncul. Diawali oleh Bregada Prajurit Lombok Abang, iring-iringan kereta kencana mulai berjalan pelan. Kilatan blitz kamera dan gemuruh tepuk tangan menyambut saat pasangan pengantin lewat. Semua berdesakan ingin menyakasikan pasangan GKR Bendara dan KPH Yudhanegara yang terus melambaikan tangan dan menebarkan senyum ramah.
Itulah pemandangan yang terlihat saat rombongan kirab pawiwahan ageng putri bungsu Sultan Hamengku Buwono X lewat dari Keraton Yogyakarta menuju Bangsal Kepatihan. Ribuan orang berjejalan memenuhi Jalan Malioboro yang membentang dari utara ke selatan. Dalam bahasa Sansekerta, malioboro berarti jalan karangan bunga karena pada zaman dulu ketika Keraton mengadakan acara, jalan sepanjang 1 km ini akan dipenuhi karangan bunga. Meski waktu terus bergulir dan jaman telah berubah, posisi Malioboro sebagai jalan utama tempat dilangsungkannya aneka kirab dan perayaan tidak pernah berubah. Hingga saat ini Malioboro, Benteng Vredeburg, dan Titik Nol masih menjadi tempat dilangsungkannya beragam karnaval mulai dari gelaran Jogja Java Carnival, Pekan Budaya Tionghoa, Festival Kesenian Yogyakarta, Karnaval Malioboro, dan masih banyak lainnya.
Sebelum berubah menjadi jalanan yang ramai, Malioboro hanyalah ruas jalan yang sepi dengan pohon asam tumbuh di kanan dan kirinya. Jalan ini hanya dilewati oleh masyarakat yang hendak ke Keraton atau kompleks kawasan Indische pertama di Jogja seperti Loji Besar (Benteng Vredeburg), Loji Kecil (kawasan di sebelah Gedung Agung), Loji Kebon (Gedung Agung), maupun Loji Setan (Kantor DPRD). Namun keberadaan Pasar Gede atau Pasar Beringharjo di sisi selatan serta adanya permukiman etnis Tionghoa di daerah Ketandan lambat laun mendongkrak perekonomian di kawasan tersebut. Kelompok Tionghoa menjadikan Malioboro sebagai kanal bisnisnya, sehingga kawasan perdagangan yang awalnya berpusat di Beringharjo dan Pecinan akhirnya meluas ke arah utara hingga Stasiun Tugu.
Melihat Malioboro yang berkembang pesat menjadi denyut nadi perdagangan dan pusat belanja, seorang kawan berujar bahwa Malioboro merupakan baby talk dari "mari yok borong". Di Malioboro Anda bisa memborong aneka barang yang diinginkan mulai dari pernik cantik, cinderamata unik, batik klasik, emas dan permata hingga peralatan rumah tangga. Bagi penggemar cinderamata, Malioboro menjadi surga perburuan yang asyik. Berjalan kaki di bahu jalan sambil menawar aneka barang yang dijual oleh pedagang kaki lima akan menjadi pengalaman tersendiri. Aneka cinderamata buatan lokal seperti batik, hiasan rotan, perak, kerajinan bambu, wayang kulit, blangkon, miniatur kendaraan tradisional, asesoris, hingga gantungan kunci semua bisa ditemukan dengan mudah. Jika pandai menawar, barang-barang tersebut bisa dibawa pulang dengan harga yang terbilang murah.
Selain menjadi pusat perdagangan, jalan yang merupakan bagian dari sumbu imajiner yang menghubungkan Pantai Parangtritis, Panggung Krapyak, Kraton Yogyakarta, Tugu, dan Gunung Merapi ini pernah menjadi sarang serta panggung pertunjukan para seniman Malioboro pimpinan Umbu Landu Paranggi. Dari mereka pulalah budaya duduk lesehan di trotoar dipopulerkan yang akhirnya mengakar dan sangat identik dengan Malioboro. Menikmati makan malam yang romantis di warung lesehan sembari mendengarkan pengamen jalanan mendendangkan lagu "Yogyakarta" milik Kla Project akan menjadi pengalaman yang sangat membekas di hati.
Malioboro adalah rangkaian sejarah, kisah, dan kenangan yang saling berkelindan di tiap benak orang yang pernah menyambanginya. Pesona jalan ini tak pernah pudar oleh jaman. Eksotisme Malioboro terus berpendar hingga kini dan menginspirasi banyak orang, serta memaksa mereka untuk terus kembali ke Yogyakarta. Seperti kalimat awal yang ada dalam sajak Melodia karya Umbu Landu Paranggi "Cintalah yang membuat diriku betah sesekali bertahan", kenangan dan kecintaan banyak orang terhadap Malioboro lah yang membuat ruas jalan ini terus bertahan hingga kini.
Keterangan: Karnaval dan acara yang berlangsung di Kawasan Malioboro biasanya bersifat insidental dengan waktu pelaksanaan yang tidak menentu. Namun ada beberapa kegiatan yang rutin diselenggarakan setiap tahun seperti Jogja Java Carnival yang selalu dilaksanakan tiap bulan Oktober, Festival Kesenian Yogyakarta pada bulan Juni hingga Juli, serta Pekan Kebudayaan Tionghoa yang dilaksanakan berdekatan dengan perayaan tahun baru China (Imlek).
Sumber : http://www.yogyes.com

Senin, 25 Juni 2012

WISATA BUDAYA MELAYU KABUPATEN LINGGA

Kabupaten Lingga yang beribu kota di Daik Lingga dibentuk menjadi sebuah kabupaten sesuai dengan Undang-undang RI Nomor. 31 tanggal 18 Desember 2003 terletak dibagian timur Provinsi Kepulauan Riau memiliki letak geografis sangat strategis. Sebelah selatan dengan laut Bangka dan Selat Berhala; sebelah utara berbatasan dengan kota Batam dan Laut Cina selatan dan sebelah timur berbatasan dengan laut Cina selatan.
Luas wilayah daratan dan lautan mencapai 211.772 km2. Wilayahnya terdiri dari 377 buah pulau besar dan kecil. Tidak kurang dari 92 buah diantaranya sudah dihuni dan sisanya 285 buah walaupun belum berpenghuni sebagian sudah dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, khususnya usaha perkebunan.
Kabupaten Lingga memiliki kekayaan alam yang luar biasa, dengan berbagai keragaman dan potensi. Sektor pariwisata sebagai salah satu aset ekonomi Kabupaten Lingga mempunyai arti penting bagi perekonomian daerah, karena didominasi oleh aset-aset kekayaan alam berupa jumlah pulau-pulau kecil dan pantai tersebar di setiap pulau, tanah pertanian yang subur, pegunungan yang hijau, sehingga menjadikan pengembangan pariwisata Lingga terkait erat dengan aspek pelestarian lingkungan alam.
Beberapa daya tarik wisata bahari kabupaten Lingga yang terkenal diantaranya adalah Pantai Pasir panjang, Pantai Pasir Pandak, Pantai Dungun, Pantai Serim, Pantai Batu Berdaun, pantai Sergang dan Pantai Pulau Pena’ah.
Selain memiliki pontensi wisata alam, juga memiliki potensi peningggalan sejarah ( Heritage ) dan Budaya (Living culture) yang dapat dikembangkan sebagai atraksi pendukung. Peninggalan sejarah diantaranya Masjid Az Zulfa, Musium Mini Linggam Cahaya, Masjid Az Zulfa, Museum Mini Linggam Cahaya, Masjid Sultan Lingga, Komplek Makam Keluarga Tumenggung Jamaludin dan Datuk Kaya Montel, Situs Istana Damnah, Replika Istana Damnah, Situs pondasi bilik 44, Benteng Bukit Cening, Benteng Pulau Mepar, Makam yang Dipertuan Muda Riau X Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi. Sedangkan potensi budaya ( living culture )adalah pentas seni bangsawan, Zp[in, joged dangkong, berzanji, pencak silat, orkes melayu, kompang, rebana, upacara tradisional Mandi Syafar.
MANDI SYAFAR
Mandi Syafar adalah suatu kegiatan tradisi yang dilaksanakan sebagian masyarakat melayu Kabupaten Lingga, Kepri. Kegiatan tradisi yang bernuansa islami ini dilaksanakan setiap tahun, tepatnya pada setiap hari Rabu ke – 4 Bulan Syafar Tahun Hijriah. Kegiatan ini telah dilkasanakan secara turun temurun yang berlansung sejak Sultan Lingga Riau yang terakhir, Sultan Abdurrahman Muazamsyah yang memerintah dari tahun 1883 – 1911. Makna mansdi Syafar sebenarnya adalah Intropeksi diri baik jasmani maupun rohani yang didalamnya terkandung mengharapkan ke ridhoan Allah SWT agar diselamatkan dari musibah dan malapetaka serta memohon ampunan – Nya atas segala kesalahan dan kekurangan yang pernah dibuat agar tidak terulang dimasa mendatang. Sedangkan makna sosialnya adalah tetap terjalinnya hubungan silaturahmi antara keluarga di masyarakat yang ditandai dengan kekompakan dan kebersamaan baik ketika dirumah ibadah maupun ditempat pemandian maupun di objek – objek wisata.
RAMPAI SENI BUDAYA MELAYU
Sebagai negri ” Bunda Tanah Melayu “, Kabupaten Lingga tentu memiliki kekayaan corak ragam seni budaya melayu, baik dalam proses mengagngkat kembali ” batang terendam “, melestarikan maupun mengembangkannya yang dikemas dalam satu hajat yang diberi nama RSBM atau Rampai Seni Budaya Melayu yang digelar setiap tahun, tidak saja telah menjadi wadah perhelatan seni budaya melayu yang memikat, tetapi juga dapat menjadi magnet bagi para pelancong yang menyenangi seni budaya melayu untuk datang ke Kabupaten Lingga.
MALAM 7 LIKUR
Malam 7 Likur yang dilaksanakan setiap malam 27 Ramadhan telah menjadi tradisi masyarakat Kabupaten Lingga di mana pada malam itu hampir setiap rumah penduduk menyalakan pelita / lampu teplok di sekitar rumah, jalan dan lorong – lorong, serta banyak juga membangun gerbang berlampu bernuansa islami seperti membuat kaligrafi dan kubah masjid.
SITUS ISTANA DAMNAH
Situs istana Damnah adalah salah satu bangunan yang masih dapat dilihat walaupun hanya reruntuhan, Istana ini dibangun pada tahun 1860 ketika masa Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (1857-1883 ).
SITUS BILIK 44 DI DAIK
Bangunan pondasi ini direncanakan oleh Sultan Muhhammad Syah (1832-1841 ) dan dibangun pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Muzzafar Syah (1832-1857 ) yang direncanakan sebagai tempat keluarga Sultan atau sumber lain sebagai tempat penyimpanan berbagai hasil kerajianan. ukuran pondasi Bilik 44 ini sekitar 48×49 meter dan jumlah pondasi ruangan yang baru disiapkan sebanayak 32 buah. Belum selesai pembangunan Bilik ini disebabkan diturunkanya Sultan Mahmud Muzzafar Syah dari tahta kesultanan Lingga Riau pada tanggal 23 September 1857.
MUSEUM MINI LINGAM CAHAYA
Museum Mini Linggam Cahaya dibangun pada bulan Agustus 2002 dan selesai dibangun pada tanggal 7 Mei 2003. Benda-benda budaya dan bersejarah didalam Museum ini telah dinilai oleh Tim Balai kajian sejarah dan nilai-nilai Tradisional dan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau yang datang ke Daik Lingga. Diantaranya adalah benda-benda budaya dari bahan kuningan, seperti: paha ( tempat meletakan lauk-pauk ), keto ( tempat membuang sampah/ludah ), bon ( tempat menyimpan jarum/benang/kapur sirih ), dan lain-lain. Kemudian ada juga senjata membela diri dan berburu, alat kesenian tradisional, koleksi uang logam dan kertas, corak ragi tenun dan tekat Melayu, peralatan kerja, ragam tempayan dan botol, aneka pinggan dan mangkok foto-foto pembesar dan lokasi tempo dulu dan masih banyak lagi lainnya yang bisa dilihat di Museum Mini Linggam Cahaya ini.
BENTENG BUKIT CENING DI DAIK
Benteng berukuran 32 m x 30 m ini terletak di Bukit Cening Kampung Seranggung, Daik Lingga, Dibangun pada masa Pemerintahan Sultan Mahmud Syah III ( 1761-1812 ). Di dalam Benteng terdapat 19 Buah Meriam, dua diantaranya bertuliskan angka 1783 dan 1797 serta VOC. Meriam terpanjang berukuran panjang 2,80 m dan berdiameter 12 cm, disebut juga dengan Meriam Tupai Beradu yang diapit kiri-kanan dengan Meriam Mahkota Raja.
BENTENG KUALA DI DAIK
Meriam-meriam pada Benteng Kuala Daik masih banyak yang terbenam. Kuala Daik adalah lalu lintas Sungai Daik yang dulunya sangat dalam dan lebar, sehingga dapat dilewati Kapal Dagang Kerajaan sampai ke Kampung Lingga yang berdekatan dengan lokasi Pabrik Sagu Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah.
MERIAM TEGAK DI DABO SINGKEP
Konon ceritanya ada Seorang Putri dari Kerajaan Lingga berkelahi dengan Pangeran. Karena sesuatu hal, Putri tersebut marah dan menancapkan sebuah Meriam, yang sampai sekarang dapat dilihat di Daerah Pantai Batu Berdaun, namun Meriam tersebut tidak diambil/ dicabut.
MASJID SULTAN LINGGA DI DAIK
Didirikan oleh Sultan Mahmud Syah III di Pusat Kota Daik Lingga pada awal Tahun 1801. Pada mulanya Masjid ini menampung 40 orang, bersamaan di perbaharuinya Masjid Sultan Riau di Penyengat, tempat bernastautinnya kedudukan yang Dipertuan Muda dan Permaisuri pertamanya Engku Hamidah. Masjid Jamik Sultan Lingga inipun diganti dengan Bangunan Beton yang dibangun tanpa tiang sebagai penyangga dan dapat memuat 400 orang jemaah.
PANTAI DUNGUN
Pantai ini terletak di Desa Teluk Kec. Lingga Utara . Di Pantai ini pernah terdampar ” Gajah Mina ” ( Sebutan Penduduk setempat ) Salah satu Makhluk Laut yang ditemukan oleh Penduduk setempat pada Tanggal 13 Januari 2005. Sampai saat ini masih dilakukan Penelitian Ilmiah yang dikerjakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jakarta untuk Mengidentifikasikan Makhluk tersebut. Keseluruhan Tulang dan Sisa-sisa Tulang Makhluk ini dikumpulkan oleh Bapak Umar Sanen ( Pak Cenot ) kemudian diserahkan kepada Museum Mini Linggam Cahaya Daik Lingga pada Tanggal 6 Januari 2006. pengukuran:
- Panjang badan ( dari Ekor ke Kepala ) : 12,4 m
- Panjang Ekor : 1,8 m
-Panjang Gigi/Taring : 2,4 m
-Tebal Kulit : 10 cm, Panjang Sirip : 78 cm, Lebar Sirip : 47 cm
Sumber : http://duniaoutbound.com

Jumat, 22 Juni 2012

WISATA KOTA TUA

Kota Jakarta memiliki banyak kawasan historis, salah satunya adalah Kawasan Kota Tua .Kota Tua Jakarta dimulai dari Pelabuhan Sunda Kelapa dan berakhir di Taman Fatahillah. Sejarah panjang yang kini disebut kawasan lama atau kawasan bersejarah atau kota tua bermula dari Pelabuhan Sunda Kelapa yang sudah terkenal sejak abad ke-12 sebagai pusat perdagangan Kerajaan Hindu, yang kemudian dikuasai oleh bangsa Portugis pada tahun 1512 hingga penjajahan Belanda selama 350 tahun (1596-1945).
Seluruh kawasan tempat di mana Batavia berawal ini ditetapkan sebagai situs dan dilindungi oleh SK Gubernur DKI Jakarta No 475/1993 mengenai bangunan cagar budaya di DKI Jakarta yang harus dilestarikan. Sesuai Peraturan Gubernur No 34 Tahun 2006 tentang penguasaan, perencanaan, penataan kota tua, luas kawasan bersejarah atau kota tua Jakarta adalah 846 hektar. Batas sebelah Selatan adalah Gedung Arsip, batas Utara adalah Kampung Luar Batang, batas Timur Kampung Bandan, dan batas Barat di Jembatan Lima.
Di seputaran bekas pusat Batavia, ada bangunan Stasiun Jakarta Kota atau Beos yang pembangunannya kelar pada 1929. Menyusur kanal membayangkan awal abad 19 di mana kawasan Kali Besar tenar sebagai pusat bisnis, bisa jadi alternatif lain. Bangunan-bangunan tua di sisi kiri dan kanan kanal menjadi saksi sebagain sejarah Jakarta.
Lebih ke Utara, ada sisa Tembok Batavia, ada pula kampung yang seharusnya tetap lestari sebagai Kampung Tugu. Kampung ini masuk sebagai kawasan yang dilestarikan dalam SK Gubernur DKI No 475/1993. Disebut demikian karena, menurut Adolf Heuken, penulis sejarah Jakarta, di kawasan ini ditemukan Prasasti Tugu - peninggalan arkeologis tertua yang membuktikan pengaruh Hindu di Jawa Barat. Di kampung ini pula para mardijkers - tahanan yang sudah dibebaskan, dimerdekakan oleh Belanda - tinggal. Mereka kebanyakan keturunan Portugis.
Tempat-tempat penting di Kawasan Kota Jakarta Tua
1 . Masjid Luar Batang
2 . Pelabuhan Sunda Kelapa
3 . Pasar Ikan
4 . Museum Bahari
5 . Menara Syahbandar (Menara Pelabuhan, yang dulunya berfungsi sebagai kantor pabean, atau pengumpulan pajak dari barang-barang yang diturunkan di pelabuhan)
6 . Kota Intan
7 . Kali Besar
8 . Museum Wayang (bekas Gedung Gereja Batavia)
9 . Taman Fatahillah
10 . Museum Keramik (bekas Gedung Pengadilan Batavia)
11 . Museum Sejarah Jakarta (bekas Gedung Stadhuis Batavia)
12 . Cafe Batavia
13 . Toko Merah
14 . Bank Chartered
15 . Museum Bank Indonesia
16 . Museum Bank Mandiri
17 . Stasiun Jakarta Kota (Stasiun Beos)
18 . Glodok dan Pinangsia Area (Jakarta Chinatown)
19 . Petak Sembilan
20 . Kuil Jin De Yuan (Vihara Dharma Bhakti)
21 . Gedung Chandranaya
22 . Gedung Arsip
Sekarang ini banyak dari gedung-gedung tersebut yang sudah menurun kualitasnya bahkan rusak di beberapa tempat. Tetapi saat ini sedang ada usaha-usaha untuk meremajakan dan memperbaiki kembali peninggalan-peninggalan Kota Jakarta Tua ini, baik oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Institusi Swasta, dan Pemerintah. Bahkan pada tahun 2007, pemerintah sudah menutup kawasan Taman Fatahillah untuk lalu lalang mobil, dan menggantinya dengan kawasan khusus pejalan kaki.
Diposkan oleh JARDINN TOURS TRAVEL ( Holiday and Tour Package ) di 21:21

KARINDING ALAT MUSIK YANG TERLUPAKAN

Awalnya karinding adalah alat yang digunakan oleh para karuhun untuk mengusir hama di sawah—bunyinya yang low decible sangat merusak konsentrasi hama. Karena ia mengeluarkan bunyi tertentu, maka disebutlah ia sebagai alat musik. Bukan hanya digunakan untuk kepentingan bersawah, para karuhun memainkan karinding ini dalam ritual atau upaca adat. Maka tak heran jika sekarang pun karinding masih digunakan sebagai pengiring pembacaan rajah. Bahkan, konon, karinding ini digunakan oleh para kaum lelaki untuk merayu atau memikat hati wanita yang disukai. Jika keterangan ini benar maka dapat kita duga bahwa karinding, pada saat itu, adalah alat musik yang popular di kalangan anak muda hingga para gadis pun akan memberi nilai lebih pada jejaka yang piawai memainkannya. Mungkin keberadaannya saat ini seperti gitar, piano, dan alat-alat musik modern-popular saat ini.
Beberapa sumber menyatakan bahwa karinding telah ada bahkan sebelum adanya kecapi. Jika kecapi telah berusia sekira lima ratus tahunan maka karinding diperkirakan telah ada sejak enam abad yang lampau. Dan ternyata karinding pun bukan hanya ada di Jawa Barat atau priangan saja, melainkan dimiliki berbagai suku atau daerah di tanah air, bahkan berbagai suku di bangsa lain pun memiliki alat musik ini–hanya berbeda namanya saja. Di Bali bernama genggong, Jawa Tengah menamainya rinding, karimbi di Kalimantan, dan beberapa tempat di “luar” menamainya dengan zuesharp ( harpanya dewa Zues). Dan istilah musik modern biasa menyebut karinding ini dengan sebutan harpa mulut (mouth harp). Dari sisi produksi suara pun tak jauh berbeda, hanya cara memainkannya saja yang sedikit berlainan; ada yang di trim (di getarkan dengan di sentir), di tap ( dipukul), dan ada pula yang di tarik dengan menggunakan benang. Sedangkan karinding yang di temui di tataran Sunda dimainkan dengan cara di tap atau dipukul.
Material yang digunakan untuk membuat karinding (di wilayah Jawa Barat), ada dua jenis: pelepah kawung dan bambu. Jenis bahan dan jenis disain bentuk karinding ini menunjukan perbedaan usia, tempat, dan sebagai perbedaan gender pemakai. Semisal bahan bambu yang lebih menyerupai susuk sanggul, ini untuk perempuan, karena konon ibu-ibu menyimpannya dengan di tancapkan disanggul. Sedang yang laki-laki menggunakan pelapah kawung dengan ukuran lebih pendek, karena biasa disimpan di tempat mereka menyimpan tembakau. Tetapi juga sebagai perbedaan tempat dimana dibuatnya, seperti di wilayah priangan timur, karinding lebih banyak menggunakan bahan bambu karena bahan ini menjadi bagian dari kehidupannya.
Karinding umumnya berukuran: panjang 10 cm dan lebar 2 cm. Namun ukuran ini tak berlaku mutlak; tergantung selera dari pengguna dan pembuatnya—karena ukuran ini sedikit banyak akan berpengaruh terhadap bunyi yang diproduksi.
Karinding terbagi menjadi tiga ruas: ruas pertama menjadi tempat mengetuk karinding dan menimbulkan getaran di ruas tengah. Di ruas tengah ada bagian bambu yang dipotong hingga bergetar saat karindingdiketuk dengan jari. Dan ruas ke tiga (paling kiri) berfungsi sebagai pegangan.
Cara memainkan karinding cukup sederhana, yaitu dengan menempelkan ruas tengah karinding di depan mulut yang agak terbuka, lalu memukul atau menyentir ujung ruas paling kanan karinding dengan satu jari hingga “jarum” karinding pun bergetar secara intens. Dari getar atau vibra “jarum” itulah dihasilkan suara yang nanti diresonansi oleh mulut. Suara yang dikeluarkan akan tergantung dari rongga mulut, nafas, dan lidah. Secara konvensional—menurut penuturan Abah Olot–nada atau pirigan dalam memainkan karinding ada empat jenis, yaitu: tonggeret, gogondangan, rereogan, dan iring-iringan.